Hasil penelitian terbarunya menyebutkan, jenis masakan yang menjadi klangenan atau kegemaran Ki Ageng Selo adalah sega golong atau yang juga disebut dengan sega kepelan.
”Disebut sega golong atau sega kepelan karena sega atau nasinya dikepel-kepel atau dibentuk bulat-bulat berukuran sebesar kepalan tangan,” kata dia dalam keterangan tertulis, Selasa (3/12/2024).
Adapun pelengkapnya adalah sayur menir bayam, pecel ayam dengan bumbu gudangan, serta lalapan berupa trancam terong. Sayur menir bayam adalah sayur bening berbahan bayam yang diberi butiran atau pecahan beras.
Menu itu merupakan menu rumahan masyarakat Jawa yang juga hadir di berbagai rumah makan khas masakan Jawa.
Sementara, pecel ayam yang dimaksud bukan masakan berbahan ayam yang diberi sambal kacang atau yang populer juga dengan sambal pecel. Tapi pecel ayam yang dimaksud adalah masakan berbahan ayam yang dimasak dengan santan dan racikan bumbu tertentu.
”Sedang trancam adalah sayuran mentah yang diurap dengan bumbu kelapa,” imbuhnya.
Menurut cerita yang dituturkan turun-temurun, lanjut dia, sega golong pecel ayam dengan kelengkapannya itu sering dihidangkan setiap kali Ki Ageng Selo mengadakan selamatan atau sedekahan dengan mengundang masyarakat sekitar Desa Selo, Kecamatan Tawangharjo.
Murianews, Grobogan – Tokoh besar Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Ki Ageng Selo yang dikenal sebagai penangkap petir ternyata juga mewariskan kuliner. Hal itu diungkapkan penulis buku ”Riwayat Kuliner Indonesia” asal Grobogan, Badiatul Muchlisin Asti.
Hasil penelitian terbarunya menyebutkan, jenis masakan yang menjadi klangenan atau kegemaran Ki Ageng Selo adalah sega golong atau yang juga disebut dengan sega kepelan.
”Disebut sega golong atau sega kepelan karena sega atau nasinya dikepel-kepel atau dibentuk bulat-bulat berukuran sebesar kepalan tangan,” kata dia dalam keterangan tertulis, Selasa (3/12/2024).
Adapun pelengkapnya adalah sayur menir bayam, pecel ayam dengan bumbu gudangan, serta lalapan berupa trancam terong. Sayur menir bayam adalah sayur bening berbahan bayam yang diberi butiran atau pecahan beras.
Menu itu merupakan menu rumahan masyarakat Jawa yang juga hadir di berbagai rumah makan khas masakan Jawa.
Sementara, pecel ayam yang dimaksud bukan masakan berbahan ayam yang diberi sambal kacang atau yang populer juga dengan sambal pecel. Tapi pecel ayam yang dimaksud adalah masakan berbahan ayam yang dimasak dengan santan dan racikan bumbu tertentu.
”Sedang trancam adalah sayuran mentah yang diurap dengan bumbu kelapa,” imbuhnya.
Menurut cerita yang dituturkan turun-temurun, lanjut dia, sega golong pecel ayam dengan kelengkapannya itu sering dihidangkan setiap kali Ki Ageng Selo mengadakan selamatan atau sedekahan dengan mengundang masyarakat sekitar Desa Selo, Kecamatan Tawangharjo.
Ditradisikan Keraton Yogyakarta...
Dari situlah, lanjut Asti, awal mula jenis masakan sega golong mentradisi dalam masyarakat Jawa. Saat ini, kata dia, sega golong biasa disajikan dalam sebuah momentum hajatan masyarakat Jawa, atau sebagai sajian pembuka sebelum memulai hajatan.
Asti menyebut, sega golong dengan sajian lengkap seperti itu saat ini masih ditradisikan oleh Keraton Yogyakarta. Hal itu mengingat bila ditelusur secara silsilah, Ki Ageng Selo merupakan leluhur mereka.
”Sega golong dengan kelengkapannya seperti itu sarat dengan nilai filosofi Jawa yang memang penuh dengan simbolisme atau perlambang,” kata dia.
Dia mengatakan, nasi yang dibentuk bulat melambangkan kebulatan tekad untuk meraih rezeki yang datang bergolong-golong atau bergulung-gulung alias melimpah ruah. Kemudian, jangan menir bayam melambangkan kebersihan hati dan pikiran dalam menjalani hidup.
”Sedangkan pecel ayam dan trancam melambangkan bersatunya jiwa manusia dengan alam,” ungkapnya.
Asti mengatakan, saat ini sega golong pecel ayam masih ditradisikan meski hanya di lingkup makam Ki Ageng Selo. Saat ada yang punya nazar dan ingin mengadakan hajatan di kompleks makam Ki Ageng Selo, oleh juru kunci dibuatkan sega golong beserta kelengkapannya.
”Sangat mungkin bila sega golong pecel ayam ini diangkat menjadi kuliner di resto atau rumah makan. Agar hidangan penuh filosofi ini bisa dikonsumsi kapan saja seseorang ingin,” tandasnya.
Editor: Dani Agus